Kamis, 13 Januari 2011


          
                  MENINGKATKAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN
                        PERTANIAN: PERLUNYA IMPLEMENTASI “PRA”, PENDEKATAN
                                                 KULTURAL DAN STRUKTURAL

                                                                   SRI WAHYUNI
                                     Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor

PENDAHULUAN
Pembangunan di Indonesia terus dilakukan melalui berbagai program, namun
keberhasilannya belum sepadan dengan investasi karena antara lain kurang memperhatikan
partisipasi masyarakat (Colletta dan Kayam, 1987). Dengan demikian diperlukan
pendekatan-pendekatan yang pelaksanaannya mengikutsertakan masyarakat. Partisipasi
masyarakat dalam pembangunan merupakan kebutuhan dasar seperti halnya kebutuhan
sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan dan transportasi ( Sumardi dan Evers, 1982).
FAO (1991) menegaskan bahwa partisipasi masyarakat adalah hak azasi, sehingga
masyarakat harus diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam melaksanakan pembangunan.
Kesempatan tersebut perlu diberikan karena tujuan pembangunan adalah untuk meningkatkan
taraf hidup masyarakat sesuai dengan yang mereka inginkan. Masyarakat sendiri yang akan
merasakan dan menilai apakah pembangunan tersebut berhasil atau tidak. Maka agar tujuan
pembangunan sesuai dengan yang diharapkan oleh masyarakat dan pemerintah , diperlukan
persepsi yang sama antar individu yang terlibat dalam pembangunan. Persamaan persepsi
diperlukan mulai dari apa yang harus ditempuh, bagaimana implementasinya, monitoring dan
evaluasi. Akhirnya pendekatan partisipatif disadari mutlak diperlukan dalam mencapai
keberhasilan pembangunan.

Menyadari pentingnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan, telah terbit
berbagai buku pedoman untuk melibatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan.
Misalnya Direktorat Jenderal Pembangunan Pedesaan (1995) telah menerbitkan panduan
untuk fasilitator tingkat desa tentang Perencanaan Partisipatif Pembangunan Masyarakat Desa
(P3MD) . Sedangkan untuk Pengembangan Dataran Tinggi Nusa Tenggara diterbitkan oleh
Studio Drya Media (1994). Khusus di bidang pertanian telah terbit buku panduan umum
(FAO,1990) dan buku panduan untuk pertanian di lahan kering hasil kerja sama dengan
International Institute of Rural Reconstruction ((FAO dan IIRI,1995) . Pedoman khusus
untuk pengembangan usahatani di lahan rawa telah disusun oleh Mundy dan Muchtar
(1996). Inti dari semua buku pedoman tersebut adalah bahwa dalam melaksanakan
pembangunan terlebih dahulu perlu diawali dengan penerapan metode Participatory Rural
Appraisal (PRA).

Pembangunan mempunyai arti yang luas, termasuk membuat kebijakan yang
umumnya diperlukan segera untuk menanggapi isu-isu aktual yang sedang berkembang. Agar
kebijakan yang diterapkan dapat diimplementasikan sesuai dengan isu yang ada, kebijakan
tersebut juga harus dibuat melalui partisipasi masyarakat. Untuk kepentingan tersebut,
Bechstedt (1998) telah menyusun tahapan dan prinsip-prinsip yang harus dilakukan oleh
peneliti dalam menerapkan metode PRA.
Dengan telah diterbitkannya berbagai buku pedoman tentang PRA dimana satu
dengan lainnya saling melengkapi , dirasakan perlu adanya satu metode PRA yang
utuh/lengkap. Tulisan ini mengemukakan metode PRA hasil ramuan dari metode yang telah
dikemukakan dan pengalaman penulis dalam menerapkan metode PRA. Uraian tulisan
meliputi empat hal yaitu: 1) kegiatan yang perlu dilaksanakan sebelum melakukan PRA ( Pra
- Implementasi PRA). 2) tahapan dan pinsip-prinsip metode PRA. 3) Peningkatkan partisipasi
masyarakat melalui pendekatan struktural dan 4) Peningkatkan partisipasi masyarakat melalui
pendekatan kultural. Informasi ini penting untuk menunjang keberhasilan pembangunan
sekaligus sebagai usaha terus mensosialisasikan metode PRA sebagai kebutuhan dalam
mewujudkan keberhasilan pembangunan.

         KEGIATAN SEBELUM MENGIMPLEMENTASIKAN PRA (PRA –PRA)

Partisipasi artinya mengambil bagian atau turut serta dalam suatu kegiatan (Hornby et
al., 1984). Partisipasi merupakan suatu proses maka diperlukan pendekatan pendahuluan
yaitu perkenalan dan sosialisasi kegiatan ( Wahyuni et al. 2000). Jadi untuk meningkatkan
partisipasi masyarakat terdapat dua kegiatan yang perlu dilakukan sebelum
mengumplementasikan metode PRA yaitu perkenalan dan sosialisasi program.

1. Perkenalan
Dalam perkenalan ada dua tahapan yang perlu dilakukan. Pertama dari petugas
lapangan yang langsung berhubungan memperkenalkan diri kepada masyarakat. Substansi
yang perlu diperkenalkan adalah identitas petugas meliputi instansi tempat bekerja dan yang
bersifat pribadi dalam keluarga. Identitas hendaknya ditulis lengkap dan jelas sehingga
mudah dibaca oleh sasaran program. Status yang jelas ini akan sangat membuka hati
masyarakat untuk mempercayai siapa sebenarnya petugas yang hadir ditengah-tengan mereka.
Tahap kedua, petugas lapang secara aktif mengenal masyarakat/sasaran program.
Usahakan secepat mungkin menghafal nama, tempat tinggal dan statusnya mulai dari
keluarga, dalam kelompok, dalam desa dan status lainnya dalam kelembagaan desa jika ada.
Dengan mengenal dan mengingat nama mereka, petugas bisa menyapa dan menyebut nama
mereka sehingga tercipta suasana akrab.
Bekaitan dengan perkenalan ini, pengertian pepatah “tak kenal maka tak sayang”
sangat penting untuk dihayati dan diterapkan. Setelah masyarakat kenal dan sayang pada
petugas dan program yang ditawarkan, maka mereka akan bisa diajak bekerjasama
mewujutkan pembangunan. Proses perkenalan terasa agak menyita waktu, tetapi manfaatnya
terhadap keberhasilan proyek sangat besar. Salah satu contoh mengenal masyarakat melalui
pertemuan formal yang efisien adalah meminta mereka secara bergantian menyebutkan
nama lengkap dan panggilan, pekerjaan, status dalam keluarga, kelompok tani, desa dan
status lainnya. Jika jumlah kelompok sasaran tidak banyak, mereka secara bergantian
diminta menuliskan namanya di kertas karton manila yang ditempelkan di ruang pertemuan.
Jika pertemuan di dalam ruangan dimana semua yang hadir duduk menghadap meja adalah
dengan membagian lembaran kertas atau karton berukuran A4. Kertas dilipat empat dan
dibentuk segitiga selanjutnya salah satu sisi segi tiga ditulis nama masing-masing dan ditaruh
diatas meja. Cara ini sangat memudahkan petugas untuk memanggil dan mengingat nama
peserta/petani.

Banyak pendekatan humanis yang bisa dikembangkan petugas lapang untuk
mengajak masyarakat berpartisipasi. Pendekatan humanis ini sangat membantu, karena pada
dasarnya semua manusia ingin maju dan sejahtera. Pengalaman dari salah satu lokasi proyek
pengembangan lahan rawa , salah satu desa di Propinsi Jambi. Ketika itu masyarakatnya
dikenal sangat sulit diajak berpartisipasi. Dalam kesempatan tersebut kami melakukan
beberapa pendekatan yaitu di samping memperkenalkan diri juga diceriterakan betapa
banyak pengorbanan yang dicurahkan untuk sampai ke desa mereka. Tim dari Bogor harus
mempergunakan 7 macam kendaraan mulai dari mobil kijang, bis DAMRI bandara, pesawat
udara, mobil sewaan, perahu bermotor (speed boat), perahu dayung (kelotok) dan terakhir
ojeg. Penjelasan tersebut bertujuan untuk menyadarkan mereka bahwa untuk sampai ke
lokasi diperlukan banyak dana, waktu, tenaga dan pikiran yang diperlukan dan pengorbanan
yang tidak bisa dinilai dengan uang, terutama bagi petugas yang jauh dari keluarganya.
Disampaikan juga bahwa sebenarnya, mereka merupakan sebagian masyarakat yang harus
bersyukur karena terpilih sebagai salah satu desa yang mendapatkan bantuan pemerintah.
Penjelasan yang telah dikemukakan ternyata dapat menggugah kesadaran mereka, terbukti
mereka mengharapkan kedatangan kembali tim kami ke desa tersebut. Pada saat yang sama
mereka terbuka minatnya untuk berpartisipasi dengan menyampaikan rencana kerja yang
sudah mereka miliki. Saat-saat tersebut dimanfaatkan oleh petugas dengan kegiatan aksi
melaksanakan tanam serentak dan ternyata memberikan peningkatan produksi padi (Tamara
et al . , 2000).

2. Sosialisasi Program
Sosialisasi program sebelum implementasi proyek bukan merupakan hal baru dan
selalu dilakukan pada awal kegiatan . Dari pengalaman penulis, pembawa atau pelaku
program di desa umumnya mengatakan sudah melakukan sosialisasi. Disadari bahwa
mensosialisasikan program bukan suatu tugas yang mudah dan bisa dikerjakan dengan hanya
satu kali pertemuan. Sekalipun substansi yang harus disosialisasikan sudah dituliskan secara
rinci. Tetapi masih dijumpai petugas yang sengaja tidak melakukan sosialisasi walaupun
telah menerima juklak. Alasannya, mereka khawatir dan ragu-ragu jika jadwal implementadi
proyek yang sudah disosialisasikan tidak sesuai rencana, tertunda atau bahkan gagal. Petugas
memilih mensosialisasikan program ketika implementasi program sudah jelas, sehingga
proses sosialisasi tergesa-gesa dan sering kurang difahami petani.
Dijumpai kasus dimana program tidak berhasil karena program belum difahami oleh
sasaran, sehingga disarankan kegiatan sosialisasi dilakukan sebelum implementasi proyek
dan diulang-ulang selama implementasi pada waktu yang tepat. Sebagai contoh,
implementasi suatu proyek pinjaman modal sudah berjalan tiga tahun namun masih dijumpai
anggota kelompok tani yang tidak mau mengembalikan pinjaman sesuai dengan perjanjian.
Salah satu penyebabnya adalah sosialisasi tentang apa jenis proyek yang dilaksanakan (hibah
atau kredit/pinjaman) belum difahami seluruh petani (Dewi dan Wahyuni, 2000). Kasus lain
di Kabupaten. Bulukumba ( Sulawesi Selatan), seorang peternak yang menerima kredit sapi
betina tidak bisa mengawinkan sapinya karena tidak mempunyai pejantan, padahal proyek
sudah memberikan sapi pejantan kepada peternak lain di dalam kelompok yang sama.
Dalam hal ini peternak sapi betina tidak tahu bahwa pejantan yang diberikan tersebut bisa ia
pinjam. Maka ia melewatkan begitu saja kesempatan mengawinkan ternaknya sampai
beberapa siklus, dan baru mengemukakan masalahnya ketika tim evaluator berkunjung.
Kenyataan ini nerupakan bukti bahwa sosialisasi tentang hubungan kerja antar petani dalam
kelompok belum difahami oleh sasaran (Wahyuni, 1999). Kesimpang siuran tentang
informasi yang diberikan petugas dalam mensosialisasikan dosis pupuk yang tepat juga
dilaporkan oleh Wariso (2000).

Dari fakta di atas dapat diambil pelajaran bahwa dalam mensosialisasikan suatu
proyek/program sebaiknya dibuat buku keragaan yang dijadikan pedoman bagi semua
petugas proyek di lapangan . Substansi dari buku pedoman sosialisasi program hendaknya
meliputi jenis program, tujuannya, mengapa dilakukan, kapan jangka waktu implementasinya,
dimana saja diimplementasikan, siapa saja yang berkaitan dengan program dan bagaimana
program dilaksanakan. Buku pedoman tersebut merupakan acuan untuk mengantisipasi
adanya ketidak jelasan program yang akan menyebabkan terhambatnya keberhasilan program.

      TAHAPAN DAN PRINSIP-PRINSIP DALAM MELAKSANAKAN METODE PRA
Lahirnya metode partisipasi masyarakat dalam pembangunan dikarenakan adanya
kritik bahwa masyarakat diperlakukan sebagai obyek, bukan subyek. Metode Participatory
Rural Appraisal (PRA) merupakan perkembangan dari metode-metode terdahulu, diantaranya
RRA (Rapid Rural Appraisal) oleh Chambers (1992).
Definisi yang tepat tentang PRA masih terus diperdebatkan, namun yang perlu
dipertegas adalah perbedaannya dengan RRA. Menurut Studio Drya Media (1994), RRA
adalah bentuk pengumpulan informasi/data oleh “orang luar” yang kemudian dibawa keluar
dan dianalisanya sendiri. Sebaliknya PRA merupakan kegiatan yang partisipatif. Walaupun
teknik yang dipergunakan bisa sama, tetapi “orang luar” hanya berperan sebagai pemandu,
perantara atau fasilitator. Masyarakat didorong untuk melakukan kegiatan menggali
informasi tentang permasalahan mereka, kemudian menganalisis dan menentukan cara
terbaik dalam mengatasi masalah.
Tabel-1 menyajikan data tentang perbedaan tahapan pelaksanaan PRA mengacu pada
Studio Drya Media (1994), FAO dan IIRR (1995) dan Bechstead (1998). Perbedaan tersebut
diramu sehingga diperoleh tahapan PRA yang lebih lengkap. Ada tiga tahapan dalam
melaksanakan PRA, dimana Studio Drya Media (1994) memberikan tahapan paling rinci,
dengan mengeksplisitkan tahap I. Selanjutnya tahap I tersebut dilengkapi oleh Wahyuni et
al. (2000) dengan perkenalan dan sosialisasi program. Tahap II merupakan inti PRA dan
secara eksplisit dikemukakan oleh semua penulis dengan kalimat yang berbeda. Rincian
kegiatan yang dikemukakan pada tahap II dalam Tabel-1 adalah rincian asli menurut
Bechstedt ( 1998) yang sengaja dikemukakan untuk kepentingan peneliti. Tahap III secara
eksplisit dikemukakan oleh ketiga penulis.
Tabel 1. Tahapan dalam Melaksanakan PRA
Tahapan Keluaran
Pertama
Menyampaikan maksud, tujuan dan proses PRA
1. Perkenalan
2. Sosialisasi program
Kedua
1. Mengumpulkan data sekunder
2. Karakterisasi sumber daya lahan
3. Mempelajari pengetahuan local
4. Membuat peta bersama
5. Membuat transek bersama
6. Mengumpulkan informasi secara histories
7. Membuat kalender musim
8. Karakterisasi penggunaan lahan
9. Mobilisasi tenaga kerja
10. Analisis keluarga
11. Membuat diagram ven
12. Memprioritaskan permasalahan
13. Membuat rencana kegiatan
14. Menganalisa potensi dan permasalahan kelembagaan
15. Membuat kebijakan
1. Deskripsi sistim analisis
2. Permasalahan penting
3. Data sumber daya lahan dan
kelembagaan
4. Kebutuhan masyarakat
5. Garis besar intervensi
6. Inovasi kebijakan
Ketiga
1. Refleksi inti PRA
2. Diskusi dan evaluasi hasil PRA
3. Memanfaatkan hasil PRA untuk program aksi
1. Realisasi kegiatan
Ada prinsip-prinsip yang harus diikuti dalam melaksanakan PRA yang merupakan ciri
khas dari pelaksanaan metode PRA. Studio Drya Media (1994) hanya mengemukakan 10
prinsip, FAO dan IIRR (1995) 14 prinsip sedangkan Beschstedt (1998) secara eksplisit
mengemukakan 20 prinsip (Tabel 2). Walaupun jumlah prinsip yang dikemukakan antar
penulis berbeda, namun inti dari prinsip-prinsip yang dimaksudkan sebenarnya sama. Tabel -
2 tidak menekankan pada urutan kegiatan, namun berdasarkan pengalaman penulis dalam
melaksanakan PRA, prindip santai, luwes, akrab dalam suasana kekeluargaan serta terbuka
merupakan kegiatan yang perlu dilaksanakan pada awal program.
Tabel-2. Prinsip-Prinsip dalam Melaksanakan PRA
No Prinsip-prinsip dalam Melaksanakan PRA
1 Tunjukkan interes belajar dengan masyarakat
2 Hargai pengetahuan masyarakat
3 Mintalah nasehat dari masyarakat
4 Biarkan masyarakat memilih ketua kelompoknya sendiri
5 Usahakan bertemu dengan masyarakat pada hari pertama kedatangan
6 Mengidentifikasi secara hati-hati dalam memilih informan kunci dan anggota
masyarakat untuk dijadikan koperator.
7 Menentukan strata berdasarkan umur, pendidikan, pengetahuan, jender,
keberhasilan.
8 Ikut sertakan wanita dan anak-anak..
9 Lakukan studi kasus rumahtangga untuk menemukan variasi informasi
10 Menemui masyarakat pada saat yang tepat
11 Tidak memaksakan jadwal
12 Jika mungkin tinggal bersama masyarakat.
13 Berhati-hatilah dalam menentukan prioritas permasalahan
14 Tim kecil dengan kombinasi profesi, umur, jender
15 Menukar strategi pengumpulan maupun sumber informasi secara reguler diantara
anggota tim.
16 Mengkombinasi hasil wawancara dengan observasi
17 Gunakan indikator kunci dalam memperbaiki observasi
18 Menindaklanjuti observasi pada indikator penting Disajikan indikator keberhasilan
program pada Tabel-3.
19 Kunjungan lapang 3 – 5 hari
20 Manfaatkan data sekunder semaksimal mungkin
Sumber,:Bechstedt (1998:41-42)

Khusus tentang kunjungan lapang, pada prinsip nomer 11 ditekankan agar tidak
memaksakan jadwal, namun pada nomer 19 dinyatakan bisa ditempuh selama tiga sampai
lima hari. Menurut pengalaman dan informasi dari beberapa peneliti, jangka waktu tersebut
sering tidak bisa dicapai karena di Indonesia, terutama di wilayah-wilayah terpencil masih
dijumpai desa yang belum mempunyai data monografi desa. Monografi desa merupakan
informasi penting dari penerapan metode PRA maka diperlukan waktu khusus untuk
memperoleh informasi tersebut. Suatu pengalaman unik diperoleh di Jawa Barat, ketika kami
meminjam data monografi , sekretaris desa mengatakan bahwa monografi masih dipinjam
oleh seseorang . Hari berikutnya kami menanyakan lagi namun memperoleh jawaban yang
sama. Karena kami sangat membutuhkan data tersebut kami terus bertanya siapa dan dimana
peminjamnya tetapi sekretaris desa tidak mau memberikan keterangan dan mengatakan biar
ia sendiri yang akan memintanya. Namun hari berikutnya justru sekretaris desa tidak mau
menemui kami dan akhirnya diketahui bahwa desa tersebut sebetulnya belum mempunyai
data monografi. Kasus ini menunjukkan bahwa kami kurang peka dalam menanggapi sikap
masyarakat yang masih mempunyai budaya malu untuk mengatakan hal yang sebenarnya.

MENINGKATKAN PARTISIPASI MASYARAKAT MELALUI
PENDEKATAN STRUKTURAL
Di dalam suatu masyarakat, dari yang paling kecil seperti rumahtangga ada tatanan
atau struktur tertentu untuk mengatur keberlanjutan masyarakat tersebut. Soekanto (1983)
memberikan contoh yang paling sederhana tentang teori struktural-fungsional yaitu struktur
tubuh manusia yang terdiri dari kepala, leher, badan dan anggota badan. Masing-masing
struktur mempunyai tugas sendiri-sendiri namun tetap diperlukan kerjasama karena struktur
yang satu dan lainnya saling tergantung agar bisa menjalankan tugas secara sempurna.
Di dalam pembangunan pertanian juga ada suatu struktur kelembagaan, yaitu: 1)
petani/kelompok tani yang bertugas memproduksi, 2) toko sarana produksi, bank dll yang
menyediakan sarana produksi, 3) Badan Penelitian dan Pengembangan yang menghasilkan
teknologi, 4) Lembaga penyuluhan dan 5) lembaga yang membuat kebijakan (Hermanto,
2001). Agar tujuan pembangunan pertanian terwujud, walaupun masing-masing lembaga
mmpunyai tugas masing-masing tetapi kelembagaan tersebut harus bekerja sama. Namun
sering dijumpai petani tidak mempunyai kesempatan untuk memperoleh pelayanan dari
kelembagaan terkait sesuai dengan yang diperlukan. Maka petugas pembangunan diharapkan
membantu menjembatani petani memperoleh pelayanan dari lembaga yang diperlukan sesuai
dengan fungsinya. Menganalogkan teori struktural fungsional dengan usaha pelaku
pembangunan dalam membantu petani memperoleh akses pelayanan dari lembaga terkait,
dalam tulisan ini dinamakan pendekatan struktural.

Pendekatan struktural paling penting dalam meningkatkan pembangunan pertanian
adalah mengikutsertakan kelembagaan desa dalam pelaksanaan program. Dikatakan penting
karena peluang ketidak berhasilan program sangat besar tanpa mengikutsertakan pemimpin
formal maupun non-formal di tingkat desa.
Sebagai contoh, suatu kelompok tani menghadapi masalah serangan hama babi hutan
yang bersumber di lahan kas desa yang bongkor (lahan tidak digarap). Cara
penanggulangannya, lahan tersebut harus dibersihkan. Karena lahan tersebut milik aparat
desa, maka untuk membersihkan harus meminta izin kepada aparatnya. Pada waktu
meminta izin tersebut baru disadari bahwa setelah proyek diimplementasikan sekitar tiga
tahun baru disadari bahwa proyek belum mengikut sertakan aparat desa. Mulai dari
peristiwa tersebut, selanjutnya dijalin hubungan kerja dengan aparat desa yang terbukti dapat
berperan sebagai penggerak dalam adopsi teknologi yang dianjurkan (Wiryawan et al., 2000).
Contoh lain adalah satu kelompok tani yang dinamikanya sangat rendah dan PPL (Petugas
Pertanian Lapangan) dengan memakai nama samaran tega memanfaatkan hak anggotanya
untuk memperoleh pinjaman dana bergulir. Setelah ditelusuri, ternyata hubungan kelompok
tani dengan PPL dan kepala desa tidak ada. Aparat desa tidak tahu menahu dengan program
yang sedang berlangsung di desanya. Menurut ketua kelompok tani, usaha mengundang
kepala desa untuk hadir dalam pertemuan kelompok yang dilakukan tiap bulan tidak berhasil.
Usaha tani padi di lahan rawa sangat memerlukan kelembagaan irigasi yang cermat,
memerlukan menejemen pengairan khusus yang disesuaikan dengan kandungan pirit di lahan
sehingga kerjasama dengan kelembagaan pengairan sangat diperlukan. Namun petani lahan
rawa umumnya berada di lokasi terpencil dan sarana komunikasi terbatas, sehingga sulit
mencapai kelembagaan yang diperlukan. Dalam kasus seperti ini sangat diperlukan bantuan
dari petugas lapang untuk membantu menjalin hubungan dengan lembaga Pekerjaan Umum
(PU). Contohnya petani di desa Harapan Jaya, Kecamatan Indragiri Hilir (Propinsi Riau),
lahan usahataninya teroksidasi karena fihak PU membuat saluran tersier terlalu dalam
sehingga permukaan air di saluran tersier lebih rendah dari permukaan air lahan sawah.
Kondisi ini menyebabkan lahan sawah tidak tergenangi air sehingga teroksidasi dan tidak bisa diusahakan untuk usaha tani. Untuk mengatasi masalah tersebut petugas ISDP (Integrated
Swamps Development Project) Riau telah menyampaikan masalah yang dihadapi petani
kepada fihak PU. Usaha tersebut ternyata mendapat tanggapan terbukti adanya perbaikanperbaikan
bendungan yang telah dilakukan (Herawati et al. 2000).
Pentingnya dukungan secara struktural untuk meningkatkan produksi padi, khususnya
di musim “gadu” atau kemarau, sangat dirasakan oleh petani di Tanjung Jabung (Jambi).
Namun mereka belum mampu menjalin hubungan dengan kelembagaan yang diinginkan.
Dengan bantuan Mantri Tani setempat selanjutnya dilakukan pertemuan kelompok tani dan
kelembagaan terkait . Kelembagaan terkait terdiri dari staf BPSB (Balai Pengawasan dan
Sertifikasi Benih), aparat desa, tim teknis dan konsultan ISDP. Dalam pertemuan tersebut
petani mengutarakan masalahnya dan ternyata mendapat respon dari kelembagaan terkait
yang diikuti dengan program aksi . Fihak BPSB mengawasi penanaman padi sejak tanam,
dalam penyeleksian sampai sertivikasi sehingga diperoleh produksi yang baik dan harga
tinggi (Wiryawan et al. , 2000).
Contoh pendekatan struktural lainnya dilakukan oleh Dewi dan Wahyuni (2000) yaitu
dalam menjalin kerjasama antara anggota Kelompok Tani Karya Indah di desa Awal Terusan
(Kecamatan Sirah, Pulau Padang – OKI – Sumatera Selatan) dengan koperasi IPPTP Kayu
Agung. Kerjasama tersebut dilakukan karena adanya laporan bahwa petani tidak bisa
menerapkan dosis pemupukan sesuai dengan anjuran karena harga pupuk mahal dan lokasi
kios saprodi sulit dijangkau. Toko saprodi terdekat berjarak 30 km dan harus ditempuh
dengan tiga kali ganti kendaraan yang frekwensi keberadaannyapun sangat jarang. Setelah
terjalin kerjasama, maka koperasi menyediakan pupuk di lokasi sesuai dengan permintaan dan
petani membayar dalam jangka waktu yang disepakati. Dilaporkan semua petani membayar
biaya pupuk tepat waktu sesuai perjanjian dan produksi meningkat dari 2 – 2,5 menjadi 3 –
3,5 ton/ha. Pada musim selanjutnya adopsi teknologi pemupukan meningkat dari 60%
menjadi 99%.
Kelompok Tani di Desa Parit Keladi ( Kalimantan Barat) menghasilkan padi dan
sayur mayur yang bagus tetapi sulit mengirimkan kepada pelanggan karena jalan desa rusak.
Namun berkat usaha petugas lapang ISDP dan PPL, pembeli yang sudah merupakan
pelanggan bisa memahami keadaan dan bersedia memberikan bantuan batu kali sebanyak
tiga truk untuk memperbaiki jalan yang rusak ( Wahyuni dan Sukarja, 2000).
Dari kasus-kasus yang dikemukakan di atas diperoleh tiga hal penting. Pertama petani
sangat memerlukan bantuan dalam menjangkau kelembagaan untuk melancarkan
usahataninya namun mereka belum mampu. Kedua, pendekatan struktural sangat diperlukan
dalam meningkatan pembangunan pertanian. Ketiga pendekatan struktural yang diperlukan
di suatu program ditentukan oleh kebutuhan wilayah masing-masing.





MENINGKATKAN PARTISIPASI MASYARAKAT MELALUI
PENDEKATAN KULTURAL
Kultur atau kebudayaan adalah perilaku berpola yang ada dalam kelompok tertentu
yang anggotanya memiliki makna, simbul dan cara yang sama untuk mengkomunikasikan
makna tersebut (Colletta dan Kayam, 1987). Unsur-unsur kebudayaan tersebut meliputi
pranata atau aturan tersurat maupun tersirat dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik dan
agama. Kebudayaan umumnya terbentuk dalam waktu yang lama dan terinternalisasi dalam
kehidupan sehari-hari dan tercermin dalam perilaku (termasuk dalam kegiatan usahatani)
suatu individu atau masyarakat. Dengan demikian setiap usaha memperkenalkan suatu
teknologi baru kepada petani harus mempertimbangkan kebudayaan yang berlaku dan dianut
mereka sehingga diketahui strategi (timing atau momennya, cara pendekatan , jenis
pengetahuan yang diperkenalkan dll.) yang tepat dalam memperkenalkannya. Berikut ini
dikemukakan beberapa kasus sebagai contoh kepedulian dan ketidak pedulian pelaku
pembangunan pertanian dalam memanfaatkan kebudayaan masyarakat untuk membangun
pertanian.
Dalam usaha meningkatkan produksi ternak kambing dan domba telah dihasilkan
serangkaian teknologi (aspek pemulia biakan, nutrisi, tata laksana, kesehatan dan ekonomi)
yang selanjutnya dikemas dalam satu buku “Kumpulan Peragaan Berternak Kambing Domba
di Pedesaan” (Ludgate, 1989) yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia, Jawa dan Sunda .
Teknologi tersebut telah diterapkan di beberapa desa di Jawa Barat. Setelah setahun proyek
berakhir dan dilakukan evaluasi (Wahyuni et al. , 1994) diperoleh informasi bahwa
beberapa teknologi yang tidak diterapkan oleh peternak disebabkan peternak mempunyai cara
tersendiri berdasarkan pengalaman mereka dan memberikan hasil lebih baik.
Sebagai contoh peternak dianjurkan menyediakan garam di dalam bambu dan
memberikan air minum di dalam ember, tetapi masyarakat tidak menerapkannnya karena jika
garam disediakan terus menerus dan ternak memakannya setiap saat maka nafsu makan akan
meningkat dan ternak akan menjadi kegemukan dan akhirnya mandul. Sedangkan air yang
ditaruh di dalam ember akan ditendang oleh ternak dan tumpah sehingga sulit diketahui
apakah ternak sudah minum atau belum. Cara petani memberikan garam pada ternak adalah
mencampur garam dengan air lalu memercikkannya pada rumput yang disediakan untuk
ternak . Sedangkan air minum yang diberikan adalah air cucian beras (leri) yang ditaruh pada
baskom atau sejenisnya dan diberikan langsung pada ternak sampai habis. Contoh lain
adalah anjuran tata laksana pengandangan ternak, agar antara ternak yang berbeda umur(
pejantan, anak lepas sapih, dara dan induk sedang bunting) diberi sekat. Petani tidak mau
menerapkan anjuran untuk anak-anak kambing-domba yang masih menyusui dan induk yang
sedang bunting. Alasan mereka anak kambing sering terperosok dan jika itu terjadi dimalam
hari berarti dan tidak diketahui akan menyebabkan kematian. Demikian juga untuk induk
bunting yang sudah dekat saat melahirkan , peternak memilih menurunkannya di halaman
rumah pada siang hari dan membawanya ke dapur pada malam hari sehingga kalau sampai
mereka tidak mengawasipun ternak masih mungkin bisa melahirkan dengan selamat. Belajar
dari kenyataan tersebut, BALITNAK membuka diri untuk belajar dari peternak dengan
mengadakan penelitian tentang indigenous knowledge peternak dalam aspek pakan,
pemuliabiakan/reproduksi dan pemeliharaan kesehatan (Wahyuni , 1994 ) Khusus tentang
tanaman obat dilaporkan ada 49 jenis yang 6 diantaranya paling banyak digunakan untuk
mengobati ternak sakit dan menjaga kesehatan ternak. Selanjutnya salah satu jenis tanaman
yaitu buah buni diteliti keefektifannya sebagai obat cacing di Balai Penelitian Veteriner
(Murdiati et al. 1992) yang kemudian diuji kembali di lapangan bersama peternak. Menurut
Adnyana dan Edi Basuno (2001) kegiatan semacam ini dinamakan improvisasi indigenous
knowledge secara partisipatif dan akan menjamin sustainabilitas penerapan teknologi tersebut.
Pemanfaatkan adat istiadat dalam pengembangan ternak dilakukan di desa Genjahan
(kecamatan pojong, Gunung Kidul) ,Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), yang dinamakan
“Gumbregan” (Wahyuni et al., 1993). Upacara gumbregan dilakukan setahun sekali untuk
memperingati Nabi Sulaiman, satu-satunya nabi yang menguasai bahasa hewan, sedangkan
makna gumbreg (bahasa jawa) adalah “mohon keselamatan” maka dengan mengadakan
upacara gumbregan peternak memohon keselamatan atas ternak yang dipelihara. Pada saat
upacara tersebut kandang ternak dibersihkan, ternak dimandikan dan dihiasi serta sebagian
dilombakan yang disaksikan oleh kelembagaan terkait dan saat itu kebetulan Bupati juga
hadir. Saat tersebut merupakan gabungan antara pendekatan kultural dan struktural yang
sangat tepat. Bukti dari efetifnya pendekatan tersebut adalah Kecamatan Pojong berhasil
sebagai kecamatan pertama di DIY yang berhasil mengentaskan kemiskinan. dengan
kemampuan sendiri.
Dalam mengentaskin kemiskinan di Kawasan Timur Indonesia, pemerintah
memberikan proyek integrasi ternak dalam usahatani. Pada tahun pertama hanya 30 petani
dari 439 rumahtangga miskin yang akan memperoleh ternak. Rumahtangga lainnya akan
mendapatkan ternak dari hasil perguliran ternak yang telah diterima keluarga pada tahap
pertama. Pemilihan tersebut ditentukan oleh masyarakat dengan fasilitator petugas lapang
dan aparat desa. Dengan cara demikian ternyata petani calon penerima guliran berikutnya.
sangat membantu dalam memonitor perkembangan ternak dan berperan sebagai kontrol sosial
            Dengan pendekatan partisipatif , desa tersebut merupakan salah satu desa yang
perkembangan ternaknya bagus (Wahyuni, 2001).
Pendekatan kultural dan cultural yang sangat kental dalam pembangunan pertanian
dijumpai di Bali (Adiyoga dan Wahyuni, 2000). Dalam setiap tahapan kegiatan usahatani
didahului oleh upacara adat yang isinya memohon kepada Tuhan agar usahanya dapat
berjalan lancar dan memberikan hasil bagus. Dilakukannya permohonan diawal kegiatan
mencerminkan bahwa secara teknis mereka sudah siap untuk melakukan kegiatan dan akan
melaksanakannya secara sungguh-sungguh. Upacara tersebut dilakukan secara sendirisendiri
maupun bersama-sama dengan petani sehamparan tata air yang dikenal dengan subak.
Dalam berdoa secara bersama-sama tersebut partisipasi dari seluruh petani tercermin, secara
moral mereka bertanggung jawab bersama-sama dalam keberhasilan berusaha tani. Kegiatan
kultural yang dilakukan secara bersama-sama di Pura adalah upacara menjelang suatu musim
tanam yang dinamakan Pengwiwit., Upacara menjelang panen disebut Mesaba dan menjelang
nyepi di mana seluruh areal sawah dikelilingi dengan arak-arakan Barong Rande . Sedangkan
upacara yang dilakukan secara individu di Sanggah (pura kecil di masing-masing keluarga)
adalah sebelum mengolah lahan , sebelum tanam (sane munggah) , satu bulan setelah tanam.
Walaupun dilakukan secara individu, hari upacara ditetapkan secara bersama oleh seorang
pemimpin adat (pekaseh) di mana dalam rapat penentuan hari tersebut sekaligus dilakukan
diskusi berkaitan dengan masalah dan segala sesuatu demi kelancaran dan keberhasilan
kegiatan usahatani. Yang terpenting setelah upacara bulan pertama ini adalah keesokan
harinya petani tidak boleh menengok lahannya selama sehari penuh dan membiarkan
hamparan sawah sunyi-senyap untuk memberikan kesempatan kepada alam tidak terganggu
oleh ulah manusia.
Di samping memperhatikan aspek kultural, aspek sumberdaya yang dimiliki oleh
keluarga tani juga perlu dipertimbangkan dalam penerapan teknologi baru Sebagai contoh
pengenalan penggunaan benih unggul di desa Parit(Kapuas, Keladi Kalimantan Barat) .
Petani yang penguasaan lahannya rata-rata sekitar 2 ha (petani transmigran) tidak mau
menerapkan penggunaan bibit unggul di seluruh lahan miliknya. Hal ini karena mereka tidak
mereka tidak mempunyai cukup tenaga kerja. Untuk mempersiapkan lahan mereka harus
mengupah atau menyewa traktor yang biayanya sangat mahal. Disamping itu waktu tanam
yang terbatas memaksa mereka harus mengeluarkan upah tanam, demikian juga waktu panen
harus diborongkan karena waktu panen yang harus serempak dan jangka waktunya pendek.
Dengan pertimbangan tersebut petani memakai benih campuran yaitu sebagian lahan ditanami
dengan benih unggul dan sebagian lagi dengan benih lokal yang persentasenya disesuaikan
dengan ketersediaan tenaga kerja dan modal yang dimiliki (Wahyuni, 1997).
Dari contoh-contoh yang telah dikemukakan membuktikan bahwa pendekatan kultural
dapat meningkatkan pembangunan pertanian.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Sebelum mengimplementasikan metode PRA diperlukan tahapan perkenalan dan
sosialisasi program. Dalam perkenalan sebaiknya dilakukan pendekatan humanis sedangkan
dalam sosialisasi proyek/program sebaiknya dibuat buku keragaan sebagai pedoman bagi
semua petugas proyek di lapangan . Sosialisasi perlu dilakukan baik sebelum maupun
selama implementasi program. Substansi dari buku pedoman sosialisasi program hendaknya
meliputi jenis dan tujuan program,, mengapa dilakukan, kapan jangka waktu
implementasinya, dimana saja diimplementasikan, siapa saja yang berkaitan dengan program
dan bagaimana program dilaksanakan.
Ada tiga tahapan dan 20 prinsip yang harus dilaksanakan dalam menerapkan metode
PRA. Walaupun tidak ada urutan dalam menerapkan prinsp tersebut namun dalam awal
kegiatan sangat diperlukan perkenalan dalam suasana santai, lues dan akrab.
Petani sangat memerlukan bantuan dalam menjangkau kelembagaan untuk
melancarkan usahataninya , maka petugas pelaksana program pembangunan hendaknya
membantu mereka melalui pendekatan struktural . Perlu diperhatikan bahwa pendekatan
struktural yang diperlukan di suatu program ditentukan oleh kebutuhan wilayah masingmasing.

Saran
Dalam meningkatkan pembangunan pertanian mutlak diperlukan implementasi metode
PRA. Untuk menyamakan persepsi dan mensosialisasikan program diperlukan buku panduan.
Substansi dari buku pedoman sosialisasi program hendaknya meliputi apa jenis program,
tujuannya, mengapa dilakukan, kapan jangka waktu implementasinya, dimana saja
diimplementasikan, siapa saja yang berkaitan dengan program dan bagaimana program
dilaksanakan.
Tahapan dan prinsip-prinsip metode PRA perlu diimplementasikan sesuai dengan
ketentuan dan kebutuhan wilayah masing-masing.
Petugas pelaksana pembangunan hendaknya menguasai stuktur dan kultur wilayah
yang akan dibangun.











DAFTAR PUSTAKA
Adiyoga, W. dan Sri Wahyuni. 2000. Studi Diagnosis Lokasi Pengkajian Corporate
Farming di Desa Tunjuk, Kecamatan Tabanan, Kabupaten Tabanan-Bali. Laporan
intern. PSE-BADAN LITBANG-DEPTAN. Pp35.
Adnyana, M. Oka dan Edi Basuno. 2001. Improvisasi Indigenous Technology dalam
Pengembangan Pertanian Lahan Rawa Berkelanjutan. Pros. Sem. Nas. Penelitian dan
Pengembangan Pertanian di Lahan Rawa. Buku-I. PUSLITBANGTAN – BOGOR
Cipayung, 25 – 27 Juli. P153-166.
Bechstedt, Hans Dieter. 1998. MSEC Training Workshop on Project Management and
Approaches for Catchment Research. Phrae. Thailand. 57pp.
Cambers, R. 1992. Rural Appraisal: Rapid. Relaxed and Participatory. Institute of
Development Studies. England.20 Pp,
Colletta, Nat J dan Umar Kayam. 1987. Kebudayaan dan Pembangunan. Yayasan Obor
Indonesia. Pp.333.
Dewi, R dan Sri Wahyuni. 2000. Pemberdayaan Kelompok Wanita Tani dalam Difusi dan
Adopsi Teknologi SUT Lebak. ISDP- Puslitbangtan. Bogor. Pp18.
Direktorat Jenderal Pengembangan Desa. 1995. Perencanaan Partisipatif Pembangunan
Desa. Buku A. Departemen Dalam Negeri. Pp.80.
FAO. 1990. Taking Hold of Rural Life. RAPA Bangkok – Thailand. 127pp.
FAO. 1991. Participatory Monitoring and Evalution. RAPA Bangkok – Thailand. 51pp.
FAO dan IIRR. 1995. Resource Management for Upland Areas in Southeast Asia. Farm
Field Document.2. FAO – Bangkok – Thailand and IIRR, Silang – Cavite.
Phillipines. 207 Pp.
Herawati, T., Suwalan, S., Haryono dan Sri Wahyuni. 2000. Peranan Wanita Tani
Dalam Usahatani Keluarga di Lahan Rawa Pasang Surut. Pengembangan Pertanian
Lahan Rawa Berkelanjutan. Pros. Sem. Nas. Penelitian dan Pengembangan Pertanian
di Lahan Rawa. Buku-I. PUSLITBANGTAN –BOGOR Cipayung, 25 – 27 Juli. p.
247 – 258.
Hermanto. 2001. Perkembangan Kelembagaan Pertanian. Dalam Bunga Rampai Ekonomi
Beras. Suryana dan Mardianto (Eds). Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan
Masyarakat dan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta. Hal 1- 13.
Hornby. Parnwell. Siswojo dan Siswojo. 1984. Kamus Inggris Indonesia. Oxford
University Press. P.419.
Ludgate. Patrick. J. (ed) 1989. Kumpulan Peragaan dalam Rangka Penelitian Ternak
Kambing dan Domba di Pedesaan. BALITNAK – SR CRSP. Pp.55.
PUSLITBANGNAK, BADAN LITBANG – DEPTAN.
Mundy, P dan Muchtar Rusdi. 1996. Pendekatan Partisipatif dan Transformasi Sosial Dalam
Pengembangan Sistem Usahatani Lahan Rawa. Indeco duta utama - Cakra Hasta –
EUROCONSULT. Pp. 7.
Murdiati, T.B., Sri Wahyuni ., Roemantio, H.S dan E. M. Mundy. 1992. Tumbuhan dalam
pengobatan Etnoveteriner pada Ternak Ruminansia di Jawa Barat. Pros. Sem. Dan
Lokakarya Nasional. Etnobotani. Dep. PDK dan LIPI. Cisarua, Bogor, 19 – 20
Pebruari. P 67 – 71.
Soekanto, Soerjono. 1983. Teori Sosiologi tentang Struktur Masyarakat. CV Rajawali
Jakarta. Pp 303.
Studio Drya Media. 1994. Berbuat Bersama Berperan Setara. Bahan Konsorsium
Pengembangan Dataran Tinggi Nusa Tenggara. Pp.164.
Sumardi, Mulyanto dan Hans Dieter Evers. 1982. Kemiskinan dan Kebutuhan Pokok. CV.
Rajawali dan YIIS. Jakarta. 341pp.
Tamara, Erna., Sri Wahyuni., Suwalan, Jumakir dan Uka Kusnadi. 2000. Pemberdayaan
Kelompok Tani di Lambur-II. Jambi. Pros. Sem. Nas. Penelitian Pengembangan
Pertanian Lahan Rwa, Cipayung 25 – 27 Juli. PUSLITBANGTAN – BOGOR. P. 145
– 154.
Wariso. RAM. 2000. Faktor Penghambat Pengembangan Pertanian dan Pendekatan osbud.
Cakra Hasta Konsultan dan AHT Internasional GmBH. 16pp.
Wahyuni , Sri. 1992 Reevaluation of Outreach Pilot Project. BALITNAK- SR CRSP,
PUSLITBANGNAK, Bogor. P 1-30.
Wahyuni , Sri. Ruth M. Gatenby and M. F. Nolan. 1994. Farmers Indigenous Knowledge
in Small Ruminant Production System. Sustainable Animal Production and the
Environment. Procc. Of the 7th. AAAP Animal Science Conggress. Bali, Juli 11 – 16.
Ikatan Sarjana Ilmu-ilmu Peternakan Indonesia. P.145 – 146.
Wahyuni , Sri., Sri Rahmawati dan A. Suparyanto. 1993. Kelumintuan Usahatani Ternak di
Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam Kumpulan Makalah Peranan Wanita dalam
Sistem Usahatani Ternak di Jawa dan Bali. PUSLITBANGNAK – Proyek
Pengembangan Penelitian Pertanian Nasional. P 104 – 140. Bogor
Wahyuni, Sri. 1997. Laporan Penelitian Pemberdayaan Kerjasama Kelompok Tani di
FSTA. Parit Keladi. Pontianak. Kalimantan – Barat. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian- ISDP. Bogor. Pp. 1-33.
Wahyuni , Sri dan M. Sukarja. 2000. Kelembagaan Penunjang Acquisition System Teknologi
Sistem Usahatani Pasang Surut. Pros. Sem. Nas. Penelitian Pengembangan Pertanian
Lahan Rawa, Cipayung 25 – 27 Juli. PUSLITBANGTAN – BOGOR. P 392 – 402.
Wahyuni, Sri. 1999. The Impact of PUTKATI on Farmers’s Welfare. Direktorat Jenderal
Peternakan – Anzdec. Laporan intern. Pp.32.
Wahyuni, Sri., Sianturi A. dan T. Herawati. 200. Peranan Sosialisasi dalam Pembangunan
Pertanian Lahan Rawa. Pros. Seminar Pengembangan Lahan Rawa. Riau. P.247 –
258.
Wahyuni, Sri. 2001. Pendekatan Sosiobudaya dalam Pengembangan Peternakan di
Sulawesi. Jurnal Pengembangan Peternakan Tropis. Edisi khusus. Seminar Nasional
Komunikasi Hasil Penelitian / Pengkajian. FAPET – UNDIP dan BPTP-Ungaran.
Semarang, 11 Oktober. P. 299 – 308.
Wiryawan. I. G., Herman S., Sri Wahyuni, Erna Tamara dan Suwalan. 2000. Rekayasa
Kelembagaan dan Pengembangan Modal Kelompok Mendukung Pengembangan
Teknologi Usahatani Pasang Surut. Seminar “ Memacu Pembangunan Pertanian
Lahan Pasang Surut Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna Serta Peningkatan
Koordinasi dan Keterpaduan Kerja”. Kuala Tungkal. Jambi. 27 – 28 Maret 2000.
P.220 – 231.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar